Peneliti kebudayaan Kerinci, Iskandar Zakaria, mengungkapkan, keberadaan Suku Kerinci Provinsi Jambi yang menghuni dataran tinggi puncak Andalas perbukitan barisan jauh lebih tua dari Proto-Melayu yang dianggap sebagai suku Melayu tertua.
"Para
antropolog beranggapan bahwa Suku Kerinci adalah bagian penting dari
jejak sejarah dan peradaban Proto-Melayu yang merupakan suku Melayu
tertua atau angkatan pertama mendiami daratan Sumatera," kata Iskandar
Zakaria di Kerinci, Rabu (18/5/2011).
Peneliti kebudayaan Kerinci kelahiran Sumatera Barat tersebut mengatakan, bukti temuan artefak purbakala yang berhasil ditemukan dan sudah ada selama 40 tahun menunjukkan bahwa sesungguhnya Suku Kerinci itu jauh lebih tua dari Proto-Melayu.
Pihaknya berkeyakinan tentang apa yang tercantum dalam salah satu sko (benda pusaka) berupa tambo adat dan silsilah suku Kerinci yang mereka jadikan riset.
Pada ribuan tahun sebelum Masehi, gelombang pertama para imigran suku Proto-Melayu dari Yunan China Selatan atau Hindia belakang berdatangan ke puncak Andalas.
Saat itu, rombongan para pendatang sudah menemukan adanya manusia di daerah tersebut, tepat di sekitar gunung berapi yang diyakini adalah Gunung Kerinci.
Tidak hanya itu, manusia purba di Kerinci itu pun dikatakan memiliki pengetahuan dan peradaban lebih tinggi dari mereka. Suku setempat tersebut sudah mengenal api dan mampu mengolah serta memanfaatkan besi atau logam.
"Dikisahkan, konon, saat itu orang pertama atau penduduk pribumi itu menggunakan kayu siegie (pinus merkusi, Strain Kerinci) yang memang mengandung getah minyak yang bisa terbakar sebagai obor. Begitu juga mata tombak yang dari batu dan logam. Oleh karena itu, mereka bisa membangun artefak batu menjadi sarana berbagai keperluan, seperti untuk altar persembahan, untuk peristirahatan, dan lainnya," papar Iskandar.
Salah satu bentuk artefak peninggalan zaman megalitikum tersebut adalah batu-batu berupa dudukan kursi, bangku, batu pintu atau menyerupai gapura, tungku atau altar, serta sarkofagus yang kesemuanya diperkirakan hanya melalui proses pemahatan sangat sederhana dan kasar.
Batu-batu tersebut ditemukan banyak tersebar di daerah berbukit-bukit atau dataran tinggi di berbagai kecamatan, baik dalam Kabupaten Kerinci maupun Kota Sungaipenuh seperti di Kecamatan Gunung Raya, Keliling Danau, Batang Merangin, Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Kumun-Debai.
Kondisi demikian meliputi desa-desa seperti di Muak, Benik, Jujun, Pulau Sangkar di Gunung Raya, Hiang Tinggi, dan di Kumun.
Dalam perjalanan perkembangan peradaban berikutnya yang lebih muda dapat ditemukan pula batu-batu Seilindrik dan batu bergambar, juga menhir-menhir dan gua-gua.
Dari semua itu diyakini bahwa perkakas yang digunakan sudah semakin maju, berupa kapak, pahat, baji, dan beliung dari besi.
Bahkan, tambahnya, dengan benda-benda purbakala itu sebagian masyarakat adat di Kerinci berani beranggapan kalau sesungguhnya mereka dulu adalah satu dari keturunan sepasang umat Nabi Nuh AS. Mereka diturunkan dari kapal Nabi di dataran tinggi Kerinci ketika air laut mulai surut, untuk membangun peradaban di kawasan tersebut.
Gigi dan fosil dalam ukuran raksasa diduga milik manusia atau makluk purba Homo Kerinciensis ditemukan warga di Desa Kumun Hilir, Kecamatan Kumun-Debai, tiga kilometer dari pusat Kota Sungaipenuh. Terungkapnya fakta tersebut belakangan ini semakin memperkuat asumsi dugaan dan perkiraan itu.
"Kalau temuan fosil dan gigi tersebut berhasil disimpulkan laboratorium kepurbakalaan di Jakarta, maka sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah salah satu bukti dan fakta kuat bagi mata rantai peradaban tua Suku Kerinci yang diyakini jauh lebih tua dari Proto-Melayu," ungkapnya.
Ia memperkirakan, gelombang Proto-Melayu datang pada rentang waktu beberapa abad sebelum Masehi. Sementara itu, suku purba Kerinci sudah mendiami daratan tersebut ribuan tahun sebelumnya.
"Saya sudah menelaah tentang hal ini selama hampir 40 tahun. Belasan buku telah saya susun sebagai gambaran kesimpulan sementara saya. Namun, hingga kini saya mengaku masih belum mampu membuat kesimpulan akhir karena berbagai keterbatasan perangkat dalam riset yang saya lakukan," tandasnya.
sumber
Peneliti kebudayaan Kerinci kelahiran Sumatera Barat tersebut mengatakan, bukti temuan artefak purbakala yang berhasil ditemukan dan sudah ada selama 40 tahun menunjukkan bahwa sesungguhnya Suku Kerinci itu jauh lebih tua dari Proto-Melayu.
Pihaknya berkeyakinan tentang apa yang tercantum dalam salah satu sko (benda pusaka) berupa tambo adat dan silsilah suku Kerinci yang mereka jadikan riset.
Pada ribuan tahun sebelum Masehi, gelombang pertama para imigran suku Proto-Melayu dari Yunan China Selatan atau Hindia belakang berdatangan ke puncak Andalas.
Saat itu, rombongan para pendatang sudah menemukan adanya manusia di daerah tersebut, tepat di sekitar gunung berapi yang diyakini adalah Gunung Kerinci.
Tidak hanya itu, manusia purba di Kerinci itu pun dikatakan memiliki pengetahuan dan peradaban lebih tinggi dari mereka. Suku setempat tersebut sudah mengenal api dan mampu mengolah serta memanfaatkan besi atau logam.
"Dikisahkan, konon, saat itu orang pertama atau penduduk pribumi itu menggunakan kayu siegie (pinus merkusi, Strain Kerinci) yang memang mengandung getah minyak yang bisa terbakar sebagai obor. Begitu juga mata tombak yang dari batu dan logam. Oleh karena itu, mereka bisa membangun artefak batu menjadi sarana berbagai keperluan, seperti untuk altar persembahan, untuk peristirahatan, dan lainnya," papar Iskandar.
Salah satu bentuk artefak peninggalan zaman megalitikum tersebut adalah batu-batu berupa dudukan kursi, bangku, batu pintu atau menyerupai gapura, tungku atau altar, serta sarkofagus yang kesemuanya diperkirakan hanya melalui proses pemahatan sangat sederhana dan kasar.
Batu-batu tersebut ditemukan banyak tersebar di daerah berbukit-bukit atau dataran tinggi di berbagai kecamatan, baik dalam Kabupaten Kerinci maupun Kota Sungaipenuh seperti di Kecamatan Gunung Raya, Keliling Danau, Batang Merangin, Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Kumun-Debai.
Kondisi demikian meliputi desa-desa seperti di Muak, Benik, Jujun, Pulau Sangkar di Gunung Raya, Hiang Tinggi, dan di Kumun.
Dalam perjalanan perkembangan peradaban berikutnya yang lebih muda dapat ditemukan pula batu-batu Seilindrik dan batu bergambar, juga menhir-menhir dan gua-gua.
Dari semua itu diyakini bahwa perkakas yang digunakan sudah semakin maju, berupa kapak, pahat, baji, dan beliung dari besi.
Bahkan, tambahnya, dengan benda-benda purbakala itu sebagian masyarakat adat di Kerinci berani beranggapan kalau sesungguhnya mereka dulu adalah satu dari keturunan sepasang umat Nabi Nuh AS. Mereka diturunkan dari kapal Nabi di dataran tinggi Kerinci ketika air laut mulai surut, untuk membangun peradaban di kawasan tersebut.
Gigi dan fosil dalam ukuran raksasa diduga milik manusia atau makluk purba Homo Kerinciensis ditemukan warga di Desa Kumun Hilir, Kecamatan Kumun-Debai, tiga kilometer dari pusat Kota Sungaipenuh. Terungkapnya fakta tersebut belakangan ini semakin memperkuat asumsi dugaan dan perkiraan itu.
"Kalau temuan fosil dan gigi tersebut berhasil disimpulkan laboratorium kepurbakalaan di Jakarta, maka sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah salah satu bukti dan fakta kuat bagi mata rantai peradaban tua Suku Kerinci yang diyakini jauh lebih tua dari Proto-Melayu," ungkapnya.
Ia memperkirakan, gelombang Proto-Melayu datang pada rentang waktu beberapa abad sebelum Masehi. Sementara itu, suku purba Kerinci sudah mendiami daratan tersebut ribuan tahun sebelumnya.
"Saya sudah menelaah tentang hal ini selama hampir 40 tahun. Belasan buku telah saya susun sebagai gambaran kesimpulan sementara saya. Namun, hingga kini saya mengaku masih belum mampu membuat kesimpulan akhir karena berbagai keterbatasan perangkat dalam riset yang saya lakukan," tandasnya.
sumber