Sebanyak 84,7% rakyat Indonesia mengaku bahagia. Hal itu terungkap dalam survei yang diadakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Hasil
survei menunjukkan sebanyak 14,2% rakyat Indonesia menyatakan sangat
bahagia dan 70,5% mengaku cukup bahagia. Apabila digabungkan, total
sebanyak 84,7% merasa bahagia. Adapun yang mengaku kurang bahagia dan
tidak bahagia sama sekali secara keseluruhan sebesar 12,2%.
Dari
hasil survei tersebut, Direktur Lingkaran Survey Kebijakan Publik
(LSKP) LSI Group, Sunarto Ciptoharjono mengatakan ada beberapa faktor
penting yang dapat menjelaskan alasan seseorang merasa bahagia.
“Pertama,
kualitas kesehatan. Orang yang merasa sehat dan tidak mengalami
gangguan kesehatan, semakin merasa bahagia. Kedua, keamanan. Orang yang
merasa bahwa lingkungannya aman, akan merasa lebih bahagia. Ketiga, uang
atau pendapatan. Orang yang punya pendapatan cukup, merasa lebih
bahagia,” terang Sunarto dalam sebuah kesempatan.
Survei
ini diadakan pada awal Oktober 2010 dengan populasi nasional dan
menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS).
Jumlah sampel 1.000 orang dengan tingkat kesalahan sampel (sampling
error) plus minus 4%. Tingkat kebahagiaan umumnya diukur dengan dua
metode, yakni objektif dan subjektif.
Metode
objektif dilakukan dengan mengumpulkan dan menghimpun data menyangkut
kualitas kehidupan publik suatu negara seperti jangkauan asuransi
kesehatan, kualitas lingkungan dan, air bersih. Adapun metode subjektif
dilakukan dengan meminta publik menilai sendiri kehidupan mereka. Survei
LSI ini menggunakan metode subjektif.
Sunarto
mengungkapkan, apabila dibandingkan dengan negara-negara yang pernah
disurvei World Value Survey (WVS), Indonesia berada di posisi ke-32.
“Indonesia menempati posisi ke-32 dari 57 negara yang pernah disurvei
WVS,” ungkapnya.
Selandia
Baru berada di urutan teratas dengan 97,3% penduduknya mengaku sangat
atau cukup berbahagia. Kemudian disusul Kanada, Norwegia, Swedia, dan
Malaysia. Namun, Indonesia berada di atas Hongkong, Jerman, dan China.
“Yang menarik, kita lebih bahagia bila dibandingkan dengan Hongkong dan
Jerman,” kata Sunarto. Survei LSI mengadopsi metode yang sama dengan
yang digunakan WVS.
Sunarto
menegaskan bahwa hasil survei ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa
kebijakan pemerintah sudah berhasil. “Karena parameter kita adalah
parameter yang subjektif, faktor perasaan. Kita cuma melihat tingkat
kebahagiaan berdasarkan pengakuan responden,” jelasnya.
Metode
subjektif, sambung Sunarto, berbeda dengan human development index.
“Kalau human development index itu dari kebijakan pemerintah, tingkat
mortalitas, tingkat kematian bayi, dan lain-lain. Kalau ini tidak, ini
berdasarkan perasaan subjektif. Dalam kondisi apapun, kalau dia merasa
bahagia, ya sudah,” pungkasnya.