Distilasi Fakta
Tambo Alam Minangkabau memang sarat
cerita-cerita yang kadang-kadang tidak logis, namun itu tidak menjadi
halangan bagi penulis untuk menjadikannya sumber. Saya ingat konsep distilasi (peyaringan) dalam
Ilmu Kimia Dasar, dimana pada hakikatnya kita bisa memisahkan unsur
dari senyawa, serumit apapun senyawa itu. Sebelumnya saya sudah
mendengar ungkapan kritis yang juga sinis bahwa Tambo itu isinya 98%
mitos dan sisa yang 2% adalah fakta.
Dengan berbagai alasan dan dalih kenapa jumlah fakta cuma 2%, diantara dalih yang populer adalah karena disuruakkan untuk suatu tujuan. Soal Suruak Manyuruak ini juga yang terjadi pada kisah Mande Rubiah di Pesisir Selatan yang tidak ingin keberadaanya diketahui oleh Penguasa Kerajaan Pagaruyung sepeninggalnya.
Itu pula yang terjadi dalam pelajaran
beberapa aliran Silek Minang, disuruakkan beberapa bagian dengan alasan
tidak cocok dengan ajaran agama, padahal itu lebih disebabkan karena
beberapa ajaran Silek itu mengajarkan konsep Al Huluj (Wahdatul Wujud) yang sesat dan menyesatkan.
Kembali Ke Cerita Awal
Kita tinggalkan sementara soal cerita
pendaratan perahu di puncak Gunung Marapi, Kita simpan sementara latar
belakang tokoh-tokoh (Cati Bilang Pandai orang India Lembah Indus,
Sultan Maharajo Dirajo orang India juga (lihat gelar Maharaj nya),
Anjing Mualim orang Persia, Harimau Campo orang Campa (Kamboja+Vietnam),
Kambing Hutan orang Cambay (Malabar, India) dan Kucing Siam orang
Thailand). Dari sini sudah jelas kalau mereka para imigran.
Sekarang kita fokuskan bahasan pada Nagari Pariangan. Apa yang akan kita cermati? Tentu saja penduduk awalnya, Siapa mereka itu?
Diatas telah kita sebutkan nama-nama
tokoh yang ada dalam Tambo (Sultan Maharajo Dirajo dan
pengiring-pengiringnya). Cukupkah? Tidak.
Kita masih ada satu informasi lagi yaitu Tujuh Suku Awal yang Menghuni Nagari Pariangan (pada beberapa versi ada 8 suku). Suku apakah yang tujuh itu : Koto, Piliang, Pisang, Malayu, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Piliang Laweh dan Sikumbang
Ada apa dengan suku-suku itu?
Eureka, suku yang menjadi sorotan dalam cerita ini adalah Suku Malayu.
Suku Malayu adalah salah satu suku utama Minangkabau yang berasal dari
kerajaan Malayu Tua. Kerajaan Malayu Tua sudah ada pada abad ke 7 (tahun
600-an). Kerajaan Malayu didirikan oleh Sri Jayanagara yang turun dari gunung Marapi ke Minanga Tamwan sekitar tahun 603.
Sedangkan Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya. Dharmasraya didirikan oleh Sri Tribuana Raja Mauliwarmadewa yang masih seketurunan dengan Sri Jayanagara.
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India
juga sempat singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat,
Mo-lo-yeu masih berupa negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina,
Mo-lo-yeu telah menjadi jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sansekerta
bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu
kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak
di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya,
pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya
terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu
kota Kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di
atas bukit. Slamet Muljana berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwan sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwan adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi).
Menurut tambo Minangkabau, Minanga Tamwan berada di bukit barisan tepatnya di hulu sungai Kampar, atau di sebelah timur Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Minanga Tamwan atau Minanga Kabwa merupakan asal usul dari nama Minangkabau.
Sekilas Suku Suku Utama Minangkabau
- Bodi dari Bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
- Caniago dari Caniaga (niaga = dagang) ·
- Koto dari Katta (benteng)
- Piliang dari Pili Hyang (para dewa)
Jadi
- Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar
(orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya. Daerah asal
diperkirakan dari Tiongkok, Campa dan Siam
- Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu
dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Daerah asal
diperkirakan dari India Selatan
Berikutnya
- Suku Tanjuang berasal dari Marga Tanjung di Barus, Pesisir Barat Sumatera Utara, Barus sudah ramai penduduk sejak sebelum masehi
- Suku Jambak (suku Campa) berasal dari Asia Tengah, mengembara ke selatan dan memasuki Sumatera lewat muara-muara sungai besar
- Suku Sikumbang, seketurunan dengan Suku Jambak. Kedua suku ini
(Jambak dan Sikumbang) sama-sama mengagungkan Harimau sebagai perlambang
(Harimau Campa dan Harimau Kumbang)
- Suku Malayu, berasal dari penduduk asli Sumatera yang pernah hidup
di kerajaan-kerajaan Malayu Tua seperti Kandis dan Koto Alang, di
kemudian hari penduduk dari Dharmasraya dan bangsa proto Melayu yang
tinggal di antara Sungai Musi dan Sungai Batanghari juga disukukan
sebagai Malayu dalam adat Minang. Suku ini sangat memuliakan Bukit
Siguntang Mahameru. Lihat kembali Tambo Alam Surambi Sungai Pagu yang
penduduk awalnya bersuku Malayu (http://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/15/sejarah-alam-surambi-sungai-pagu/)
- Suku Mandahiliang, suku pendatang dari Tapanuli Selatan yang dimasukkan kedalam adat Minangkabau
- Suku Pisang, berasal dari penduduk Pisang di Kuala Inderagiri (lihat peta, lokasi di pangkal jalur merah)
- Selebihnya adalah Suku-Suku pengembangan dari yang telah disebutkan,
jadi tidak benar adanya suku awal itu hanyalah yang empat itu
(Koto-Piliang-Bodi-Caniago) karena suku itu sejatinya adalah clan-clan
atau bani-bani layaknya bani-bani yang ada di Jazirah Arab.
Dari suku-suku ini kita bisa memperkirakan tarikh kedatangan dan perkembangan wilayah yang kemudian disebut Minangkabau ini. Dari keberadaan Suku Malayu di Nagari Pariangan, kita bisa memperkirakan bahwa Pariangan didirikan setelah 600 Masehi (600 Tahun Sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri)
Tombo Lubuk Jambi, Kerajaan Kandis, Kerajaan Koto Alang dan Eksodusnya Patih dan Tumenggung Koto Alang ke Gunung Marapi
Tombo Lubuk Jambi adalah sumber diluar
Minangkabau yang tidak lazim dijadikan rujukan oleh orang Minang. Saya
melanggar ketidaklaziman itu, karena saya percaya kebudayaan Malayu Tua
itu benar-benar tua dan lebih tua dari kebudayaan Minangkabau yang
dirumuskan oleh kedua datuk kita itu.
Kerajaan Melayu Tua di Jambi
Di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan
Melayu tua yaitu, Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat
dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa
Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga
dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812)
dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao.
Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan
kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada
gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam
teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami
pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan
kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah.
Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan
termasuk rumpun Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni
daratan Sumatera (Wikipedia, 2009).
Menurut data Cina Koying telah melakukan
perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan
dan Ranau wilayah Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas
perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau
Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han
(abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di wilayah Sumatera
tertentu.
Adanya kemungkinan penyebaran berbagai
negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal
di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu
kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah
timur Tupo atau Thu-po, Tchu-po, Chu-po dan kedudukannya di muara
pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara
Sabak Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa dan Muara Tembesi atau Fo-ts’I,
San-fo-tsi’, Che-li-fo-che sebelum seroang sampai di Jambi Tchan-pie,
Sanfin, Melayur, Moloyu, Malalyu. Dengan demikian seolah-olah
perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat
ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen
terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. Hubungan dagang secara
langsung terjadi dalam perdagangan dengan negeri-negeri di luar di
sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar kemungkinan negeri Koying
berada di sekitar Alam Kerinci.
Keberadaan Koying yang pernah dikenal di
manca negara sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi.
Diperkirakan setelah Koying melepaskan kekuasaanya atas kerajaan
Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying secara perlahan-lahan menghilang.
Koying yang selama ini tersohor sebagai salah satu negara nusantara
pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak disebut-sebut
lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja, karena
kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami
nasib yang sama.
Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci
sebelum atau sekitar permulaan abad masehi telah terdapat sebuah
pemerintahan berdaulat yang diakui keberadaanya oleh negeri Cina yang
disebut dengan negeri Koying atau kerajaan Koying.
Tombo Lubuk Jambi
Pulau Perca adalah salah satu sebutan
dari nama Pulau Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama
sesuai dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya
merupakan satu benua yang terhampar luas di bagian selatan belahan bumi.
Karena perubahan pergerakan kulit bumi, maka ada benua-benua yang
tenggelam ke dasar lautan dan timbul pulau-pulau yang berserakan. Pulau
Perca ini timbul terputus-putus berjejer dari utara ke selatan yang
dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera bagaikan guntingan
kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau Sumatera telah
melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali pergantian
nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan
terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca terletak berdampingan dengan
Semenanjung Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan
Samudra Hindia sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau
Perca berdekatan dengan Semenanjung Malaka, maka daerah yang dihuni
manusia pertama kalinya berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih
mudah dijangkau dari pada Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul
merupakan Bukit Barisan yang berjejer dari utara ke selatan, dan yang
paling dekat dengan Semenanjung Malaka adalah Bukit Barisan yang berada
di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang, tepatnya adalah Bukit Bakau yang
bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit Selasih (sekarang berada dalam
wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, Kecamatan Kuantan
Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau), sedangkan daratan
yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal
dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra
Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan
Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda
Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas
(Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan
rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan
Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan
daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih.
Maharaja Diraja sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna.
Putra Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja
Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk
Rajo Tunggal (lebih akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki
senjata kebesaran yaitu keris berhulu kepala burung garuda yang sampai
saat ini masih dipegang oleh Danial gelar Datuk Mangkuto Maharajo
Dirajo. Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik jelita yang
bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah Putih (di Minangkabau dikenal dengan Kembang Daro Maharani dan Kembang Daro Bendahari)
Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah
Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan
Kandis. Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang
kerajaan Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan sarang burung layang-layang,
dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah kerajaan Kandis kaya
akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk membuat tambang
emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah, artinya
tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas
peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis
diperdagangkan ke Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro
Hitam dengan memakai ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis
membawa barang-barang kebutuhan kerajaan dan masyarakat. Demikianlah
hubungan perdagangan antara Kandis dan Malaka sampai Kandis mencapai
puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan Kandis yang bolak-balik
ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan menikah dengan orang
Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan perdagangan dengan
Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana Dhamna
kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil
dan bijaksana. Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan
oleh bawahan Raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan
hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur
pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain di antaranya ke Bukit Selasih dan
akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin banyak yang timbul (Dalam Tambo Minangkabau ini yang disebut Bumi Basentak Naiak, Lauik Basentak Turun).
Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa Sangau
sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk
Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut,
sehingga berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah
Pantai (Lubuk Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang) –> Ini adalah latar cerita Cindua Mato, berarti cerita ini berlatar abad ke 8
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru,
maka mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul
peperangan antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil
Putih, setelah itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan
dikalahkan oleh Kandis. Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh
Kandis, sehingga Raja Aur Kuning pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah
Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di samping kerajaan Koto Alang
diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo (buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan
Patih dan Temenggung lari ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana
keduanya mengukir sejarah Sumatra Barat, dengan berganti nama Patih
menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan Temenggung berganti nama menjadi
Dt. Ketemenggungan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar
kerajaan Kandis mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina
belakang, dengan ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat
berlabuhnya kapal Raja Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah
mengalahkan Kandis, Raja Sintong beserta prajuritnya melanjutkan
perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang pemuka kerajaan Kandis
berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh, maka mereka
sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah.
Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan
Kandis ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).
Analisa Mitologi Minangkabau vs Mitologi Lubuk Jambi
Terlepas dari benar tidaknya sebuah
mitologi, kesamaan cerita dalam mitos tersebut akan mengantarkan pada
suatu titik terang. Tambo Minangkabau begitu indah didengar ketika pesta
nikah kawin dalam bentuk pepatah adat menunjukkan kegemilangan masa
lalu. Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi, dua cerita yang bertolak
belakang. Minangkabau mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah Sultan
Maharaja Diraja putra Iskandar Zulkarnain yang berlabuh di puncak gunung
merapi. Air laut semakin surut keturunan Maharaja Diraja berkembang di
sana hingga menyebar kebeberapa daerah di Sumatra. Lain halnya dengan
tambo Lubuk Jambi, tambo itu mengatakan bahwa nenek moyangnya adalah
Maharaja Diraja Putra Iskandar Zulkarnain, berlabuh di Bukit Bakar dan
membangun peradaban di sana. Dari Lubuk Jambi keturunan-keturunannya
menyebar ke Minangkabau dan Jambi. Namun tambo tidak menyebutkan tahun.
Itulah sebabnya daerah ini dinamakan Lubuk Jambi yang berarti asalnya
(lubuk) orang-orang Jambi. Menurut ceritanya, Kandis sejak kalah
perang dalam ekspedisi Sintong dan penyembunyian peradaban mereka
ceritanya disampaikan secara rahasia dari generasi ke generasi oleh
Penghulu Adat atau dikenal dalam istilahnya ”Rahasio Penghulu”. Namun kebenaran cerita rahasia ini perlu dibuktikan.
Dari kedua tambo tersebut di atas, dapat
ditarik benang merah yaitu ”sama-sama menyebutkan bahwa nenek moyang
mereka adalah Iskandar Zulkarnain”. Tapi dalam catatan sejarah yang
diketahui Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great/ Alexander Agung)
tidak mempunyai keturunan.
Jalur Pelarian Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Menyambung cerita diatas kedua pejabat Kerajaan Koto Alang (Patih dan Tumenggung) memudiki Batang Kuantan (Hulu Indragiri) sampai ke Silungkang dan diperkirakan sampai di Lembang Jaya Solok dan kemudian menurun ke Danau Singkarak dan menyusuri danau tersebut kearah utara menuju Gunung Marapi.
Dengan melihat foto Gunuang Marapi yang
saya lampirkan, pembaca tidak akan heran mengapa dalam Tambo muncul
cerita tentang Gunung Marapi yang terlihat menjulang dari Lautan, karena
sesungguhnya lautan yang dimaksud adalah Danau Singkarak!
Ada Apa Dengan Gunung Marapi?
Hipotesa saya akan berakhir disini. Jika
orang mempertanyakan benar tidaknya soal pendaratan di Gunung Marapi dan
buru-buru sinis, saya justru tersenyum. Ada Apa Dengan Gunung Marapi?
Pertama sekali perlu kita pahami Latar Sosial dan Religi para pendahulu kita ini.
Datuak Katumanggungan terlepas dia keturunan siapa, jelas-jelas sangat lekat dengan ajaran agama Hindu.
Salah satu ciri religiusitas agama Hindu kuno adalah memuliakan
gunung-gunung sebagai gunung-gunung suci yang dipercaya sebagai tempat
bersemayamnya dewa-dewa utama. Karena itu dimanapun mereka berada mereka
akan mencari gunung-gunung ini dan kemudian mentasbihkannya sebagai
tempat suci, tempat bertapa, tempat memohon petunjuk tempat mencari ilmu
dll. Contoh :
- Masyarakat Hindu India Utara memuliakan Gunung Mahameru di Himalaya
- Masyarakat Hindu Melayu memuliakan Gunung Ledang dan Bukit Siguntang
- Masyarakat Hindu Kerinci yang datang dari India Selatan memuliakan Gunung Kerinci (Kerinci Sandaran Agung)
- Masyarakat Hindu Jawa memuliakan Gunung Semeru dan Gunung Merapi
- dan lain sebagainya
Jadi fenomena mencari Gunung Suci ini tidaklah aneh dalam perspektif ini
Datuak Perpatih Nan Sabatang sangat lekat dengan agama Buddha.
Terlihat dari pandangannya yang melihat semua orang sama dan tidak
berkasta kasta. Beliau suka berfilsafat dan mengarang berbagai
undang-undang. Ajaran Budha memuliakan air dan bunga (biasanya dalam
bentuk Danau dan Teratai) dan simbol-simbol angka delapan.
Kesimpulannya kedua orang ini berasal
dari 2 etnis yang berbeda. Datuk Katumanggungan orang keturunan India,
Datuk Perpatih Nan Sabatang orang keturunan Asia Timur (tidak jelas
darimana yang jelas beragama Buddha ala timur). Yang jelas-jelas
disebutkan dari Tiongkok adalah Datuk Tantejo Gurhano sang arsitek Rumah
Gadang (kemungkinan bermarga Tan)
Soal Cerita Keturunan Iskandar Zulkarnain itu?
Kedua Datuk menurunkan cerita itu kepada
kita lengkap dengan Undang Undang dan Konstitusi yang mereka susun. Saya
lebih suka mengasosiasikan cerita Iskandar Zulkarnain ini dengan Pancasila
yang diciptakan ketika akan membuat negara Indonesia. Cerita ini perlu
dibuat untuk menyatukan anak cucu nantinya (apalagi malu karena disebut
orang terusir, tentu bukan cerita eksodus inilah yang akan diwariskan
pada keturunan). Fenomena seperti ini masih bisa kita lihat sekarang ini
di negara-negara seperti Turkmenistan dan Korea Utara.
Soal Menhir di Mahat
Menhir di Mahat adalah satu Kebudayaan
Megalithikum dari Bangsa Proto Melayu yang datang lebih dahulu ke Pulau
Sumatera. Jika dilihat pada peta, Mahat berada di Hulu Sungai Kampar.
kemungkinan besar bangsa Proto Melayu dari Yunnan yang bermigrasi 2500
SM ini masuk melalui entreport Kuala Kampar. Cerita yang sama dengan
kedua datuk kita, namun terjadi 3000 tahun sebelumnya.
Soal Masyarakat Alam Kerinci
Masyarakat Alam Kerinci adalah campuran
Proto Melayu dan Imigran dari India Selatan. Bukti : ada daerah bernama
Muara Madras disana (Madras adalah Ibukota Tamilnadu di India Selatan).
Masyarakat Kerinci sudah ada pada saat Kerajaan Kandis memerintah.
Kemungkinan penduduk asal India Selatannya masuk lewat entreport Kuala
Tungkal (Muara Batang Hari)
Soal Melayu Muda Dharmasraya
Dharmasraya adalah kerajaan yang muncul
belakangan, sekitar abad ke 8 (tahun 700-an Masehi), sebelum Sriwijaya
berdiri. Jika Melayu Tua berkuasa di DAS Sungai Kampar dan Kandis
berkuasa di DAS Sungai Inderagiri maka Dharmasraya berkuasa di DAS
Sungai Batanghari (semakin bergerak ke selatan). Sriwijaya yang akhirnya
menguasai Dharmasraya meneruskan tradisi berpindah ke selatan ini
dengan mendirikan pusat kerajaan di DAS Sungai Musi.
Pemerintahan Dharmasraya ini sezaman dengan pemerintahan Datuk yang
Berdua ini. Cerita Dang Tuanku dan Bundo Kandung juga berlatar abad ke 7
Masehi. Ini menihilkan hipotesa bahwa Dang Tuanku adalah Adityawarman
(hidup 400 tahun kemudian).
Soal Prasasti Padang Candi yang memuat nama Dewa Tuhan Perpatih
Prasasti Padang Candi adalah Prasasti
Penobatan Aditiawarman. Nama Dewa Tuhan Perpatih yang disebut sering
dikaitkan dengan Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Jika dikonfrontir naskah
Tombo Lubuk Jambi dengan Prasasti ini akan ditemukan selisih waktu 400 tahun!
Apakah mungkin Datuak Perpatih dan Sabatang dan Datuak Katumanggungan hidup dalam periode 800 M – 1200 M? Walaahualam.